Rabu, 26 Oktober 2011

Secara umum fase kodifikasi al-Qur'an dari awal pengumpulan mushaf hingga munculnya ulumul qur’an, terbagi kedalam 4 zaman: 1. Fase pra-kodifikasi, zaman rasulullah dan sahabat. - Rasulullah dan sahabat memahami al-Qur'an beserta ilmu-ilmu mengenainya, namun pengetahuan itu tidak dituliskan dalam suatu kertas ataupun tidak dibukukan, karena waktu itu mereka tidak butuh kepada penulisan dan pembukuan ilmu-ilmu al-qur'an. - Al-Qur'an diturunkan kepada nabi sebagai sebuah wahyu, yang merupakan kalam Allah yang diajarkan kepada nabi untuk membacanya dan melafadzkanya secara perlahan (tartil), diturunkan secara bertahap untuk membuat hatinya tenang, dan lebih memahami rahasia kandungan al-qur'an. لاتحرك به لسانك لتعجل به - Nabi mengajarkan al-Qur'an kepada para sahabat beserta penjelasan dan keterangan suatu ayat, baik itu secara lisan, perbuatan, uswah lewat akhlaq nabi, maupun dalam hadist-hadistnya. Namun para sahabat waktu itu lebih bersandar kepada otentisitas kearabanya, yaitu kebanggaanya dengan kelebihan hafalan yang mereka miliki. - Disamping itu kebanyakan para sahabat masih buta huruf, dan peralatan penulisan juga minim kala itu. - Adanya larangan untuk tidak menuliskan sesuatu kecuali al-Qur'an, maka kontan pada waktu tersebut ulumul Qur'an dan hadist-hadist nabi tidak ditulis oleh para sahabat, namun mereka tetap mengajarkanya kepada muslimin, lewat pengucapan dan pengajian, bukan melalui tulisan maupun pembukuan. 2. Masa awal kodifikasi ulumul Qur'an: - Masa Khalifah Utsman bin Affan dimulai penulisan al-Qur'an dalam satu mushaf dengan rasm usmani, akibat meluasnya pengaruh Islam ke berbagai daerah sehingga banyak non arab yang masuk islam namun belum memahami al-qur'an, juga khawatir adanya perbedaan bacaan serta penulisan al-qur'an yang nantinya bisa menimbulkan perpecahan diantara umat Islam. - Sampai pada Kholifah Ali R.A yang mulai memperhatikan gramatikal dan harokat pada tulisan arab, dan menyuruh Abu al-Aswad ad-Duali untuk menyusun kaidah-kaidah yang dapat melindungi bahasa al-Qur'an sehingga muncullah ilmu nahwu, dan kemudian menyusul ilmu i'robul qur'an (gramatikal al-Qur’an). Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa pada zaman inilah sejarah kodifikasi cabang ilmu al-Qur'an muncul –yaitu ilmu i'rob qur'an- namun pendapat tersebut masih menjadi eikhtilaf. - Pada zaman Dinasti Bani Umayyah, ulumul Qur'an mulai berkembang dan menyebar lewat para sahabat dan tabi'in meskipu periwayatanya dan pengajaranya masih sebatas lisan (talqiyn). - Para sahabat yang dinilai menjadi pioner berkembangnya ulumul Qur'an adalah: keempat Khulafa'ur Rosyidin, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Zayd bin tsabit, Abu Musa al-Asy'ari, Abdullah ibn zubayr. - Sedangkan dari para tabi'in: Mujahid, 'Ikrimah, Qotadah, Hasan al Basri, Sa'id ibn Jabir, Zayd ibn Aslam di Madinah dan darinya muncul anaknya 'Abdurrohman dan Imam Malik dari golongan tabi' tabi'in. 3. Fase kodifikasi ulumul qur'an dalam artian tambahan/ cabang-cabang ulumul qur'an yang menjadi disiplin ilmu sendiri. 4. Fase munculnya istilah ulumul qur'an - Ulumul Qur'an muncul sebagai suatu istilah disiplin ilmu pertama kali pada akhir abad ke-4 atau awal abad ke-5 oleh al-Khufi, kemudian pada abad ke-6 dan ke-7 dikembangkan oleh ibnu al Jawzi, as-Sakhowi, dan abi Syaamah. Abad ke-8 oleh az Zarkasyi dengan bukunya "al-Burhan fi ulumil qur'an". Dilanjutkan pada abad ke-9 oleh al Kafiyji dan Jalaluddin al Balqiyni, sedangkan di penghujung abad ke-10 muncullah kitab “al-Itqon fi Ulumil Qur'an” oleh Jalaluddin as Suyuti - Pada abad sekarang, mutaakhirin. Terdapat kitab at tibyan fi uluwmil qur'an karya syaikh Tohir al Jaza'iry, kemudian syaikh Mahmud Abu Daqiyqah dalam bukunya Manhaj al Rurqon fi Ulumil Qur'an, syeikh Musthofa al-Maroghi dengan fatwanya membolehkanya terjemahan al-qur'an sehingga bermuncullah sebuah buku yang berjudul Al mas'alah fi turjumatil qur'an, serta terakhir karya monumental abad ke-20 yaitu buku Mabahits fi uluwmil qur'an karangan Syekh Manna' Kholil al-Qo9tton dosen Universitas Imam ibnu sa'ud Madinah.


Sabar
Masalah yang kita hadapi sekarang adalah berkaitan dengan akhlak dan hati, tidak ada hubungannya sama sekali dengan rasa qanaah dan pemikiran kita.
Yang menjadi ironi adalah ketika kita melihat ada orang yang memahami permasalahan ini, dan menyadari bahaya besar yang mengikutinya, namun alih-alih mereka menapaki jalan pengobatan yang kita sarankan, mereka malah menempuh jalan pemikiran, studi filsafat yang mereka bawa ke forum diskusi dan akademik. Seakan permasalahan yang mereka hadapi adalah kebodohan yang melekat di otak, padahal penyakit itu sebenarnya bertolak dari hati yang sakit.
Apa manfaat yang kita petik ketika berkutat dalam mengelaborasi buku “Al Muqaddimah” ibnu Khaldun, atau menempuh kajian spesialisasi dalam strategi musuh yang dijalani oleh musuh ataupun penyebar perang pemikiran, atau berkutat dengan konsep baru dalam pemikiran dan dakwah Islam, padahal pangkal masalahnya bukan karena kejahilan umat terhadap konsep pemikiran, tetapi bersumber dari penyakit hati akut yang tertanam di dalam diri mereka.
Umat Islam sejak hari ini tidak butuh kepada tambahan studi pemikiran ini. Umat Islam dengan wawasan mereka yang beragam, memiliki kesadaran bersama yang akan menjadi tameng penjaga bagi mereka, kalau memang urusan ini disandarkan pada kesadaran semata.
Mereka hari ini butuh pada kekuatan besar yang mendorong mereka untuk menjalankan, dan kekuatan besar pendorong itu bukan di tangan pemikiran dan akal semata.
Kekuatan besar yang terpendam itu adalah kekuatan akhlak.
Orang-orang ateis yang menjalani gaya hidup liberal dan ateis itu bukan berpijak pada pemikiran semata, namun karena didesak kuat oleh hawa nafsu yang bergelora di dada mereka.
Gaya hidup barat yang tenggelam dalam gelimang materi dan jatuh dalam kubangan kehinaan, bukan karena filsafat dan teori-teori yang membawa mereka pada kehancuran. Mereka hancur karena dijerumuskan oleh penyakit akhlak yang mereka derita, hanya saja mereka mencoba menyembunyikan hakikat ini terus menerus.
Seorang pemuda yang kami ketahui telah sadar dan taubat dari gaya hidup menyimpang dan ateis. Kemudian teman-teman dan orang tuanya datang mengajaknya berdiskusi, untuk mempengaruhinya agar kembali pada gaya hidupnya semula. Namun setelah perbincangan dan diskusi panjang yang melelahkan, berkatalah mantan teman perempuannya : “Engkau anak muda yang baru tumbuh, nikmatilah masa mudamu dan biarkanlah masa tuamu menemukan zamannya sendiri.”
Seorang penyeru dakwah Islam di eropa ditanya tentang kesuksesan dakwahnya di eropa, ia pun menjawab : “manusia eropa tidak pernah peduli dalil rasional yang mengajak mereka kepada kebenaran, memang mereka cepat percaya kepada kebenaran dengan pemikiran logika yang lurus, namun yang sangat disayangkan adalah, seringkali mereka mudah untuk berpaling dari kebenaran itu karena alasan kebebasan yang telah bersemayam di hati dan menjadi gaya hidup mereka. Keyakinan mereka terhadap kebenaran tidak mampu meyakinkan mereka untuk bisa bebas dari kungkungan hawa nafsunya.”
Model orang-orang seperti ini tidak akan mampu membebaskan diri dari persoalan yang melilit diri merekaa, apalagi hanya sekedar berbekal teori-teori dan hasil studi pemikiran Islam. Yang bisa menyelamatkan mereka adalah dengan menghidupkan hati nurani dan menyalakan kembali obor di hati mereka.
Hatilah pangkalnya. Hatilah yang tanpanya tidak bermanfaat tumpukan buku-buku besar yang berisi pemikiran dengan elaborasinya atapun analisa-analisanya yang memukau.
Hati adalah rahasia terbesar dalam hidup ini. Hatilah yang menjadikan jarak jauh menjadi dekat, melunakkan besi yang keras dan menampung seluruh keinginan yang beraneka warna. Hatilah yang menjadikan manusia lupa akan nikmat dan keinginan duniawi, dengan menenggelamkannya dalam kenikmatan muraqabatullah dan kebersaman-Nya.
Hati ini tidak lahir dari kerja pemikiran yang menghasilkan teori-teori dan riset, tetapi hati ini muncul karena banyak beribadah dan mendekat diri kepada Allah dengan penuh kehambaan dan kekhusyuan di waktu sahur.
Hati inilah yang hilang dalam pencarian panjang yang melelahkan penyair besar Muhammad Iqbal, disetiap diskusi hangat, analisa-analisanya yang memukau dan kepustakaannya yang penuh dengan khazanah pemikiran.
Adapun pemikiran, riset, kajian dan studi menurut hemat kami pasti bermanfaat, hanya saja masih terbatas satu step di samping tahapan-tahapan yang lain.
Pemikiran dan riset memiliki ruang terbatas, sekalipun jangkauannya bisa menjauh. Adalah sebuah kesia-siaan yang nyata, ketika kita kembali tenggelam dalam kesibukan membongkar berbagai pemikiran dari awal sampai akhir, lupa melewatinya sebagai salah satu step dan tidak mengikatnya dengan usaha-usaha yang lain setelahnya. Dan tidak pula kita menggerakkan diri kita walau hanya sejengkal tanah dari bumi yang kita pijak , atau keinginan yang membuncah di dalam dada.
Dan setelah kita teliti lebih dalam, ternyata hasil pemikiran yang kita anggap sebagai pemikiran Islam ternyata hanyalah lingkaran berputar yang menyambungkan antara akhir dari studi teoritis dan praktek selanjutnya.
Hendaknya gerakan pemikiran ini kita cukupkan pada porsinya dalam studi dan kajian Islam tersendiri, sehingga tidak membawa kita pada lingkaran yang tidak pernah selesai dalam dunia kita. Musuh pun tidak terus menerus membuat teka teki baru dengan menambah persoalan-persoalan, yang mengundang kita untuk sibuk dengan serial studi, penolakan dan diskusi yang tidak pernah usai.
Kesimpulan
Kesimpulan dari yang kami sampaikan pada bab-bab terdahulu, sesungguhnya umat Islam hari ini mengadu tentang perpecahan dan permusuhan anggotanya, mereka bertanya-tanya tentang jalan yang bisa menyatukan kata dan tujuan mereka.
Kami katakan, yang memecah belah umat Islam hakikatnya adalah tembok beton yang memagari hati-hati mereka, tanpa hilangnya tembok pembatas ini maka urusan mereka tidak akan pernah selesai dan tidak akan pernah bersatu.
Tembok pembatas ini lebih kuat pengaruhnya dibandingkan dengan majlis pertemuan, perkumpulan dan simbol-simbol kesatuan.
Kami telah jelaskan dalam bab-bab yang lalu, tembok-tembok pembatas dan pengaruhnya yang berbahaya dalam kelangsungan hidup umat Islam, lalu kami coba usulkan obat penawar yang bisa menghancurkan tembok pembatas ini dan menghilangkannya dari hati mereka.
Dengan bahasa singkat dan lugas kami katakan, yang menghilangkan tembok pembatas ini adalah pil pahit bagi umat ini. Pil pahit itu adalah ikhlas.
Ketika hati kita ikhlas dalam menjalankan agama, maka akan hilang sikap takabbur, sementara sikap tawadhu akan bertahta di singgasana hati kita. Musnahlah semua kebencian dan dendam, sementara rasa cinta dan kebersamaan akan menyelimuti hati kita. Lenyaplah sikap gila dunia, pangkat, jabatan dan jerat-jeratnya, sementara harapan akan ridha Allah dan selamat dari ancaman siksanya akan memenuhi relung hati kita. Enyahlah segala macam bentuk fanatisme, sementara hati kita akan diharu biru oleh loyalitas kita kepada Islam.
Ikhlas adalah kata yang mudah meluncur di lisan, sering terngiang-ngiang di telinga dan sangat dicintai oleh hati. Karenanya kata ini akan selalu diulang-ulang dan diundangkan. Urgensinya begitu besar dalam hidup, pengaruhnya jauh sangat besar dalam masyarakat, namun pelaksanaannya sangat berat dirasakan oleh hati.
Namun kebesaran, urgensi dan pengaruh kata ini menjadi sirna, ketika kita melihat bahwa kebanyakan orang yang mengundangkannya adalah para pembohong, meramaikannya sebagai slogan kosong yang tidak bermakna.
Jika keikhlasan sudah tertanam dalam hati kita, maka jiwa pengorbanan akan menjadi kuat.
Dengan apakah orang yang berjiwa ikhlas berkorban, tentu dengan segala pahit manisnya rintangan, kebaikan dan penderitaan menuju kebenaran yang ia ikhlas untuk sampai kepadanya. Bagi orang-orang yang mengeluh tidak mendapatkan jalan untuk berkorban dengan yang kami sebutkan tadi, karena lebih cinta kepada diri sendiri, maka hendaknya mereka melatih jiwa mereka untuk berkorban.
Kalau memang mereka tidak siap untuk berkorban, maka hendaknya mencabut pengakuan akan Islam yang dipeluknya. Hendaklah mereka berhenti untuk menyuarakan rasa pedih atas perpecahan dan permusuhan umat Islam saat ini.
Sesungguhnya mereka yang tidak pernah berhenti menyuarakan hukum Allah dan mempermainkannya, demi kelanggengan jabatan duniawi dan demi cita-cita pribadi yang ingin dicapainya, maka sebaiknya mereka berhenti untuk berbicara walaupun satu kata, tentang rahasia perpecahan dan permusuhan umat. Dalam musibah yang menimpa umat ini, tidak pernah mereka merasa sakit, apalagi hatinya tersiksa dan tesayat sedikitpun.
Mereka yang hidup di dunia ini, dengan membesarkan kesombongan dan egonya dan membela fanatisme batil, mereka tidak layak untuk menipu dirinya dan orang lain, mencampuradukkan gairah agamanya dengan nafsu kesombongannya, melarutkan perjuangan untuk kebenaran dengan perjuangan untuk diri dan fanatisme kelompoknya.
orang-orang yang memahami Islam sebaiknya terbebas dari jihad terhadap nafsu, penghambaan hati kepada Allah, dzikrullah yang meliputi seluruh waktu dan doa di waktu sahur, lalu mereka menginginkan Islam adalah ucapan, gerakan dan planning semata, maka hendaknya mereka tidak membahas ajaran Islam dari kitabullah, sunnah Rasulullah dan para pendahulu yang baik. Alangkah eloknya mereka mencarinya dari para pemikir modern dan aliran madzhab, maka dari mereka inilah mereka akan mendapatkan konsep Islam yang mereka inginkan.
Orang-orang yang menginginkan Islam hanya sebatas diam di pojok-pojok masjid, tidak membebani pemeluknya kecuali dzikir dan wirid yang mereka ulang-ulang di waktu pagi dan sore, atau hanya gumaman nyanyian yang mereka anggap sebagai sarana untuk memperbaiki hati, maka mereka seharusnya tidak membaca ayat-ayat jihad, tidak perlu mengkaji sirah Rasulullah saw, yang memaparkan perjuangan Beliau dalam membina sebuah masyarakat Islami lengkap dengan aturan perundangannya, dan tidak seharusnya mengingat bahwa Beliau telah menyerahkan amanat masyarakat Islami ini kepada generasi setelahnya.
Adapun orang-orang yang memahami Islam sebagaimana Allah turunkan, Islam adalah iman kepada Allah yang Esa, yakin bahwa mereka adalah hamba Allah baik karena terpaksa atau karena taat, yakin bahwasanya Allah adalah tempat kembali dan disisi-Nya ada pembalasan atas apa yang telah mereka lakukan, lalu mereka berusaha keras untuk menentang nafsunya yang mengajak kepada keburukan, dalam rangka memperbaiki hubungan dan membina kedekatan dengan Allah, sekaligus juga mendorong umat kepada berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Allah, maka ini adalah bibit yang baik bagi kesatuan umat, di atas kerangka inilah kebersamaan umat dan bertolak dari sinilah Allah akan datangkan pertolongan, sokongan dan kekuatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar