Jumat, 11 November 2011

KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN


KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN
  1. Pengertian
Kata mukjizat terambil dari kata bahasa Arab “a’jaza” yang berarti “melemahkan atau menjadikan tidak mampu”. Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mu’jiz dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka ia dinamai mu’jizat.[1]
Pakar agama Islam mendefinisikan mukjizat sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan itu.[2]
Ada unsur-unsur penting yang harus menyertai sesuatu sehingga ia dapat dinamai mukjizat, yaitu:
  1. Hal atau peristiwa luar biasa, artinya sesuatu yang berada di luar jangkauan sebab dan akibat yang diketahui secara umum hukum-hukumnya. Dengan demikian, hipnotisme atau sihir, misalnya, walaupun sekilas terlihat ajaib atau luar biasa namun karena ia dapat dipelajari maka ia tidak termasuk dalam pengertian luar biasa.
  2. Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku nabi, artinya apabila bukan dari seorang yang mengaku nabi maka ia tidak dinamai mukjizat.
  3. Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian
  4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani, artinya bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa maka pengakuan sang penantang tidak terbukti. Kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang. Bahkan untuk lebih membuktikan kegagalan mereka, biasanya aspek kemukjizatan masing-masing nabi adalah hal-hal yang sesuai dengan bidang keahlian umatnya.[3]
Ringkasnya, mukjizat adalah hal luar biasa yang diberikan kepada nabi dan di dalamnya berisi tantangan bagi orang yang ragu.
Walaupun dari segi bahasa, mukjizat berarti melemahkan, namun dari segi agama, ia sama sekali tidak dimaksudkan untuk melemahkan atau membuktikan ketidakmampuan yang ditantang. Mukjizat ditampilkan oleh Tuhan melalui hamba-hamba pilihanNya untuk membuktikan kebenaran ajaran Ilahi yang dibawa oleh masing-masing nabi.[4]
Kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW telah diberikan mukjizat yang bermacam-macam antara lain tongkat yang diberikan kepada Nabi Musa yang dapat menelan semua ular yang didatangkan tukang-tukang sihir, mukjizat dapat menghidupkan orang mati yang diberikan kepada Nabi Isa dan lain-lain.[5]
  1. Macam-Macam Mukjizat
Secara garis besar, mukjizat terbagi dalam dua bagian pokok yaitu, pertama: mukjizat yang bersifat material inderawi lagi tidak kekal, kedua: mukjizat immaterial logis lagi dapat dibuktikan sepanjang masa.
Mukjizat nabi-nabi terdahulu kesemuanya merupakan mukjizat jenis pertama yaitu mukjizat yang bersifat material inderawi. Mukjizat yang bersifat material inderawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indera oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya.[6]
Adapun mukjizat Nabi Muhammad SAW adalah bersifat bukan inderawi atau material namun dapat dipahami oleh akal. Mukjizat al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya dimana dan kapanpun.
Menurut Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Mukjizat Al-Quran, perbedaan tersebut bertolak pada dua hal mendasar yaitu pertama, para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu sedangkan Nabi Muhammad SAW diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman.
Kedua, menurut Auguste Comte pikiran manusia mengalami tiga fase perkembangan yaitu:
  1. Fase keagamaan dimana karena keterbatasan pengetahuan manusia, ia mengembalikan penafsiran semua gejala yang terjadi kepada kekuatan tuhan atau dewa yang diciptakan dalam benaknya.
  2. Fase metafisika dimana manusia menafsirkan gejala atau fenomena yang ada dengan mengembalikannya kepada prinsip-prinsip yang merupakan sumber awalnya.
  3. Fase ilmiah dimana manusia menafsirkan fenomena yang ada berdasarkan pengamatan yang teliti dan berbagai eksperimen hingga diperoleh hukum alam yang mengatur fenomena itu.[7]
Al-Qur’an mengemukakan alasan mengapa mukjizat Nabi Muhammad SAW bukan yang bersifat inderawi dan material dalam surah Al-Isra’ (17):59 :
$tBur !$oYyèuZtB br& Ÿ@Å™öœR ÏM»tƒFy$$Î/ HwÎ) br& z>¤‹Ÿ2 $pkÍ5 tbqä9¨rF{$# 4 $oY÷s?#uäur yŠqßJrO sps%$¨Z9$# ZouŽÅÇö7ãB (#qßJn=sàsù $pkÍ5 4 $tBur ã@Å™öçR ÏM»tƒFy$$Î/ žwÎ) $ZÿƒÈqøƒrB ÇÎÒÈ
Artinya: “Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasan kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu  dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka Menganiaya unta betina itu. dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.”[8]
Dengan kata lain, membuktikan kebenaran suatu ajaran dengan menggunakan bukti-bukti yang bersifat inderawi tidak membantu mereka yang telah memiliki kemampuan rasional.
Bangsa Arab yang pada saat yang sama adalah bangsa yang memiliki keahlian dalam aspek kebahasaan dan mereka pun merasa mahir dalam bidang ini, maka tidak heran kalau tantangan pertama yang dikemukakan Al-Qur’an kepada yang ragu adalah menyusun kalimat-kalimat semacam Al-Qur’an minimal dari segi keindahan dan ketelitiannya. Al-Qur’an menantang orang yang mengingkari kewahyuannya itu supaya membuat kitab tandingannya yang sama seperti seluruh isinya dengan tantangan yang bertahap.
  1. Rasulullah Saw. menantang bangsa Arab dengan Al-Qur`an secara keseluruhannya, dalam bentuk cakupan yang luas meliputi seluruh jin dan manusia. Dalam hal ini Allah menjelaskan dalam surah Al-Isra ayat 88
@è% ÈûÈõ©9 ÏMyèyJtGô_$# ߧRM}$# `Éfø9$#ur #’n?tã br& (#qè?ù’tƒ È@÷VÏJÎ/ #x‹»yd Èb#uäöà)ø9$# Ÿw tbqè?ù’tƒ ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ öqs9ur šc%x. öNåkÝÕ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 #ZŽÎgsß ÇÑÑÈ
Artinya: “Katakanlah “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.
  1. Karena tidak ada seorangpun yang bisa melawan tantangan Al-Qur’an yang pertama, maka tantangan tahap kedua adalah harus membuat kitab tandingan yang sama dengan sepuluh surah dalam Al-Qur’an. Hal ini dijelaskan dalam surah al-Hud ayat 13-14
÷Pr& šcqä9qà)tƒ çm1uŽtIøù$# ( ö@è% (#qè?ù’sù ÎŽô³yèÎ/ 9‘uqß™ ¾Ï&Î#÷VÏiB ;M»tƒuŽtIøÿãB (#qãã÷Š$#ur Ç`tB OçF÷èsÜtGó™$# `ÏiB Èbrߊ «!$# bÎ) óOçFZä. tûüÏ%ω»|¹ ÇÊÌÈ   óO©9Î*sù (#qç7ŠÉftFó¡o„ öNä3s9 (#þqßJn=÷æ$$sù !$yJ¯Rr& tAÌ“Ré& ÄNù=ÏèÎ/ «!$# br&ur Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ( ö@ygsù OçFRr& šcqßJÎ=ó¡•B ÇÊÍÈ
Artinya: “Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”.
Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu Maka ketahuilah, Sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, Maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?”
  1. Karena tantangan kedua masih juga dianggap berat, maka Allah meringankan lagi tantangan tersebut yaitu dengan hanya disuruh membuat tandingan satu surah yang sama dengan Al-Qur’an yang tercantum dalam surah Yunus ayat 38
÷Pr& tbqä9qà)tƒ çm1uŽtIøù$# ( ö@è% (#qè?ù’sù ;ou‘qÝ¡Î/ ¾Ï&Î#÷VÏiB (#qãã÷Š$#ur Ç`tB OçF÷èsÜtGó™$# `ÏiB Èbrߊ «!$# bÎ) ÷LäêYä. tûüÏ%ω»|¹ ÇÌÑÈ
Artimya: “Atau (patutkah) mereka mengatakan “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar.”
Kalau kita meninjau lebih jauh tentang sejarah bangsa Arab maka akan kita temukan bahwa mereka adalah para ahli bahasa dan balaghah, namun keunggulan yang mereka miliki itu membuat mereka tidak mampu untuk mendatangkan tandingan Al-Qur`an. Walaupun mereka telah berupaya keras untuk mencari-cari sisi kelemahan dan kekurangan dalam Al-Qur`an, tapi pada akhirnya upaya mereka tidak membuahkan hasil.
  1. Perbedaan Pendapat Tentang Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an
Al-Qur’an mempunyai daya I’jaz yang luar biasa dari segala segi. Mulai dari sistimatika susunannya dalam mushaf sampai pemilihan dan penempatan suatu kata dalam kalimat serta redaksi dan makna yang dikandungnya.
Dalam menjelaskan dari aspek mana kemukjizatan al-Qur’an itu, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Fakhrudin, aspek kemukjizatan al-Qur’an terletak pada kefasihan, keunikan redaksi dan kesempurnaan dari segala cacat.[9] Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ibnu Athiyyah yang mengatakan bahwa yang benar dan sesuai dengan pendapat mayoritas ulama dan para intelektual mengenai aspek kemukjizatan al-Qur’an terletak pada keindahan susunan, validitas makna dan keseimbangan dalam kefasihan kata-katanya.[10]
Menurut Muhammad ‘Abdullah Darraz, jika diperhatikan secara seksama dalam al-Qur’an banyak terdapat rahasia kemukjizatan dari segi bahasa. Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa yang khas yang tidak dapat ditiru oleh siapapun. Jalinan hurufnya serasi, ungkapannya sangat indah, uslubnya manis, ayat-ayatnya teratur dan sangat memperhatikan situasi dan kondisi dalam berbagai macama gayanya.[11]
Nurkholis Madjid, salah seorang ulama Indonesia kontemporer menegaskan salah satu kemukjizatan al-Qur’an itu ialah ekspresi puitisnya yang sangat khas dan unik. Segi kemukjizatan al-Qur’an tidak mungkin tanpa kemampuan tinggi bahasa Arab yang digunakan sebagai medium ekspresinya.[12]
Dr. Abdul Rozzaq Naufal menerangkan bahwa I’jazil al-Qur’an itu ada empat macam yaitu:[13]
  1. Al-I’jazul Balaghi yaitu kemukjizatan dari segi sastra balaghahnya.
  2. Al-I’jazut Tasyri’I yaitu kemukjizatan segi pensyariatan hukum-hukum ajarannya.
  3. Al-I’jazul Ilmu yaitu kemukjizatan segi ilmu pengetahuan.
  4. Al-I’jazul Adadi yaitu kemukjizatan segi kuantity atau matematis/statistic.
Lain halnya dengan Imam Al-Khoththoby yang memiliki pendapat berbeda. Menurutnya, kemukjizatan Al-Qur’an itu terfokus pada bidang kebalaghahan saja. [14] Dengan kata lain, kemukjizatan al-Quran itu hanya ada satu aspek saja yaitu Al-I’jazul Balaghi. Dengan susunan uslub yang demikian itu bisa mencakup kefasihan lafal, kebaikan susunan dan keindahan makna.
Ulama yang sepaham dengan Imam Al-Khoththoby ini antara lain, Imam Ali bin Isa Ar-Ramany yang menulis kitab An-Naktu fi I’jazil Qur’ani Al-Balaghi dan Syekh Mustafa Shodiq Ar-Rafii yang mengarang kitab I’jazul Qur’an wa Al-Balaghatu An-Nabaawiyyatu.
Adapun Imam Al-Jahidh juga berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur’an itu hanya fokus pada satu aspek saja yaitu susunan lafal-lafalnya. Sebab, susunan lafal-lafal Al-Qur’an itu berbeda-beda dari kitab-kitab yang lainnya. Pujangga lain yang sepaham dengannya, antara lain Muhammad bin Jazid Al-Wasithy dalam bukunya I’jazil Qur’an fi Nudzumi wa Ta’lifi, Dr. Fathi Ahmad Amin dalam buku Fikratun Nudzumi Baina Wujuhil I’jazi dan Abd Qodir Al-Jurjany dalam kitab Dalailul I’jaz.[15]
Prof Dr. H. Abdul Djalal H.A mengutip pendapat Moh. Ismail Ibrahim dalam buku yang berjudul Al-Qur’an wa I’jazihi Al-Ilmi mengatakan, orang yang mengamati Al-Qur’an dengan cermat, mereka akan mengetahui bahwa kitab itu merupakan gudang berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan. Sebelumnya, Imam Zamahsyari dalam tafsir Al-Kassyaf, Imam Tarur Rozi dalam tafsir Mafasil Ghaibi dan Imam Al-Ghazali dalam buku Jawahirul Qur’an sudah terlebih dahulu menyingkapkan I’jazul Ilmi tersebut.[16]
Syekh Abu Bakar Al-Baqilany mengatakan bahwa ada 3 segi kemukjizatan al-Qur’an yaitu berita gaib, cerita umat terdahulu dan susunan yang indah dalam al-Qur’an. Tidak berbeda jauh dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Qadhi Iyad Al-Basty dimana menurutnya segi kemukjizatan al-Qur’an itu ada empat hal yaitu susunannya yang indah, uslubnya yang berbeda, adanya berita ghaib yang belum terjadi tetapi betul-betul terjadi dan berita ghaib masa lalu dan syariat dulu yang jelas dan benar.
Secara garis besar kemukjizatan A-Quran dapat dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu, pertama dari aspek kebahasaan yang mencakup aspek susunan ayat demi ayat, surat demi surat dalam mushaf serta penempatan suatu kata dan susunannya dalam kalimat. Kedua, dari segi makna yang mencakup aspek makna yang dikandung oleh ayat-ayat Al-Qur’an seperti isyarat ilmiah dan pemberitahuan tentang hal-hal gaib baik pada masa lampau, sekarang maupun yang akan datang.
  1. Aspek kebahasaan
Kemukjizatan sisi bahasa sudah dirasakan semenjak al Qur’an lahir. Bila ditilik dengan teliti inilah yang menyebabkan para sahabat masuk Islam. Rata-rata mereka masuk Islam setelah mendengarkan al Qur’an dibacakan.
Ayat-ayat Al-Qur’an walaupun-sebagaimana ditegaskanNya-bukan syair atau puisi, namun terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Hal ini disebabkan oleh huruf dan kata-kata yang dipilih melahirkan keserasian bunyi dan kemudian kumpulan kata-kata itu melahirkan pula keserasian irama dalam rangkaian kalimat ayat-ayatnya.[17] Misalnya dalam surah An-Nazi’at ayat 1-14:
ÏM»tãÌ“»¨Y9$#ur $]%öxî ÇÊÈ   ÏM»sÜϱ»¨Z9$#ur $VÜô±nS ÇËÈ   ÏM»ysÎ7»¡¡9$#ur $[sö7y™ ÇÌÈ   ÏM»s)Î7»¡¡9$$sù $Z)ö7y™ ÇÍÈ   ÏNºtÎn/y‰ßJø9$$sù #XöDr& ÇÎÈ   tPöqtƒ ß#ã_ös? èpxÿÅ_#§9$# ÇÏÈ   $ygãèt7÷Ks? èpsùÏŠ#§9$# ÇÐÈ   Ò>qè=è% 7‹Í´tBöqtƒ îpxÿÅ_#ur ÇÑÈ   $yd㍻|Áö/r& ×pyèϱ»yz ÇÒÈ   tbqä9qà)tƒ $¯RÏär& tbrߊrߊöyJs9 ’Îû ÍotÏù$ptø:$# ÇÊÉÈ   #sŒÏär& $¨Zä. $VJ»sàÏã ZotÏƒªU ÇÊÊÈ   (#qä9$s% y7ù=Ï? #]ŒÎ) îo§x. ×ouŽÅ %s{ ÇÊËÈ   $oÿ©VÎ*sù }‘Ïd ×otô_y— ×oy‰Ïnºur ÇÊÌÈ   #sŒÎ*sù Nèd ÍotÏd$¡¡9$$Î/ ÇÊÍÈ
Artinya: “Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras,, dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut, dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang, dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia). Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncang alam,  tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua. hati manusia pada waktu itu sangat takut, pandangannya tunduk. (orang-orang kafir) berkata: “Apakah Sesungguhnya Kami benar-benar dikembalikan kepada kehidupan semula?   Apakah (akan dibangkitkan juga) apabila Kami telah menjadi tulang belulang yang hancur lumat?” mereka berkata: “Kalau demikian, itu adalah suatu pengembalian yang merugikan”. Sesungguhnya pengembalian itu hanyalah satu kali tiupan saja, Maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi.
Seorang yang berilmu, apabila membaca Al-Qur’an akan mengetahui keindahannya. Begitu pula apabila yang membacanya orang awam, dia akan merasakan keagungannya, merasakan manisnya dan tidak sulit memahaminya. Sungguh mukjizat yang luar biasa karena al-Qur’an bisa disampaikan dan diterima oleh semua kalangan, baik para cendekiawan, orang awam, raja, rakyat biasa, orang cerdas atau idiot, yang dewasa, anak-anak, laki-laki maupun perempuan.
  1. Isyarat Ilmiah
Karena Al-Qur’an adalah kitab petunjuk bagi kebahagian dunia dan akhirat, maka tidak heran jika di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tersirat dan tersurat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Namun, hakikat-hakikat ilmiah yang disinggung Al-Qur’an dikemukakan dalam redaksi yang singkat dan sarat makna.
Salah satu contoh, Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa langit dan bumi tadinya merupakan satu gumpalan melalui firmanNya dalam surah Al-Anbiya ayat 30:
óOs9urr& ttƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚö‘F{$#ur $tFtR%Ÿ2 $Z)ø?u‘ $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( Ÿxsùr& tbqãZÏB÷sムÇÌÉÈ
Artinya: “Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana terjadinya pemisahan itu, namun apa yang dikemukakan di atas tentang keterpaduan alam raya kemudian pemisahannya dibenarkan oleh observasi para ilmuwan.[18]
  1. Berita Ghaib
Adanya berita ghaib dalam Al-Qur’an juga menunjukkan bahwa kitab suci tersebut betul-betul wahyu Allah SWT. Karena tidak mungkin hal-hal yang terjadi ratusan ribu tahun yang lalu bias diketahui oleh Nabi apalagi menceritakannya, aklau bukan wahyu dari Allah SWT yang Maha Mengetahui segala rahasia dan kejadian.[19] Berita ghaib itu bias mengenai kejadian yang telah lalu, kejadian sekarang ataupun kejadian yang akan datang. Seperti dalam surah Ar-Rum ayat 2-3
ÏMt7Î=äñ ãPr”9$# ÇËÈ   þ’Îû ’oT÷Šr& ÇÚö‘F{$# Nèdur -ÆÏiB ω÷èt/ óOÎgÎ6n=yñ šcqç7Î=øóu‹y™ ÇÌÈ
Artinya: “Telah dikalahkan bangsa Rumawi.  Di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang”
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa bangsa Romawi akan menang terhadap bangsa Persia, setelah dia diakalahkan. Kemenangan bangsa Romawi itu belum terjadi, waktu ayat itu diturunkan. Tetapi, ramalan Al-Qur’an tersebut tepat karena beberpa tahun kemudian bangsa Romawi dapat mengalahkan bangsa Persia.
Pada umumnya, bagi yang tidak mengetahui dan mendalami bahasa Arab, terasa amat sulit untuk menemukan dimana letak kemukjizatan Al-Qur’an karena untuk mengetahui ketinggian mutu sesuatu susunan kata-kata tidak akan dapat dipahami, kalau kita tidak dapat merasakan keindahan bahasa itu sendiri. Namun, cukuplah kalau diketahui bagaimana pengaruh Al-Qur’an terhadap sastrawan penantang Islam dan reaksi mereka terhadap tantangan Al-Qur’an itu sendiri, karena pengakuan musuh Islam adalah bukti yang nyata.
Al-Qur’an juga menunjukkan kesempurnaanya dengan kandungan makna. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang bersumber dari penelaahan Al-Qur’an merupakan suatu kemukjizatan yang luar biasa. Sebelum seorang ilmuwan menemukan suatu ilmu pengetahuan, Al-Qur’an telah menjelaskannnya beberapa abad tahun yang lalu baik secara tersurat maupun tersirat.
Menurut hemat penulis, tidak ada pendapat yang keliru dalam penentuan aspek kemukjizatan Al-Qur’an. Baik itu pendapat yang menyatakan bahwa aspek kemukjizatan Al-Qur’an itu dari segi bahasa, isyarat ilmiah, berita gaib ataupun dari segi manapun itu. Karena untuk menentukan kemukjizatan Al-Qur’an adalah hasil telaah dari orang yang ingin menggali aspek kemukjizatan Al-Qur’an itu sendiri.
Apabila orang tersebut adalah seorang yang ahli dalam bidang bahasa maka kemungkinan besar pendapatnya akan mengarah kepada segi bahasa. Lain halnya seorang ahli dalam ilmu pengetahuan maka kemungkinan besar pendapatnya akan  akan mengarah kepada segi makna atau isi kandungan Al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar