Jumat, 11 November 2011




Rumusan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Salah salah satu ciri manusia berkualitas dalam rumusan UU No. 20 Tahun 2003 di atas adalah mereka yang tangguh iman dan takwanya serta memiliki akhlak mulia. Dengan demikian salah satu ciri kompetensi keluaran pendidikan nasional adalah ketangguhan dalam iman dan takwa serta memiliki akhlak mulia.

     Menurut Tafsir (2002), bagi umat Islam, dan khususnya dalam pendidikan Islam, kompetensi iman dan takwa serta memiliki akhlak mulia tersebut sudah lama disadari kepentingannya, dan sudah diimplementasikan dalam lembaga pendidikan Islam. Dalam pandangan Islam, kompetensi iman dan takwa (imtak) serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), juga akhlak mulia diperlukan oleh manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi.

Jadi, dalam pandangan Islam, peran kekhalifahan manusia dapat direalisasikan melalui tiga hal, yaitu:
1)    Landasan yang kuat berupa iman dan takwa
2)    Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
3)    Akhlak mulia

     Dengan demikian, menurut Wahid (2007), dalam Islam tidak dikenal dikotomi antara imtak dan iptek, namun justru sebaliknya perlu keterpaduan antara keduanya, karena Alquran dan Assunah sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu agama Islam dengan ilmu-ilmu umum. Yang ada dalam Alquran adalah ilmu. Pembagian adanya ilmu agama Islam dan ilmu umum merupakan hasil kesimpulan manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan sumber objek kajiannya.

B.    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat penulis rumuskan permasalahan-permasalahan dalam makalah ini antara lain :

Bagaimana proses pendidikan dalam keluarga?
Bagaimana bentuk-bentuk keluarga yang menujunjung pendidikan
Bagaimana kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan ?

C.    Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat penulis pahamai dan tentukan tujuan dari penyusunan makalah ini secara khusus adalah  :

Untuk mengetahui proses dalam bidang pendidikan
Untuk mengetahui bentuk-bentuk keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan
Untuk mengetahui kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan


BAB II
PEMBAHASAN


1.    Pengertian Pendidikan

Kata pendidikan menurut etimologi berasal darikata dasar didik. Apabila diberi awalan me,njadi mendidik maka akan membentuk kata kerja yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran). Sedangkan bila berbentuk kata benda akan menjadi pendidikanyang memiliki arti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorangatau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upayapengajaran dan latihan.

Istilah pendidikan dalam konteks Islam telahbanyak dikenal dengan menggunakan term yang beragam, sepertiat-Tarbiyah, at-Ta’lim dan at-Ta’dib. Setiap term tersebutmempunyai makna dan pemahaman yang berbeda, walaupun dalam hal-haltertentu, kata-kata tersebut mempunyai kesamaan pengertian.

Pemakaian ketiga istilah tersebut, apalagi pengakajiannya dirujukberdasarkan sumber pokok ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah).Selain akan memberikan pemahaman yang luas tentang pengertianpendidikan Islam secara substansial, pengkajian melalui al-Qur’andan al-Sunnahpun akan memberi makna filosofis tentang bagaimanasebenarnya hakikat dari pendidikan Islam tersebut?

Dalam al-Qur’an Allah memberikan sedikitgambaran bahwa at-Tarbiyah mempunyai arti mengasuh,menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat,membesarkan dan menjinakkan. Hanya saja dalam konteks al-Isra maknaat-Tarbiyah sedikit lebih luas mencakup aspek jasmani dan rohani,sedangkan dalam surat asy-Syura hanya menyangkut aspek jasmani saja.

2.    Pengertian Keluarga

Kata keluarga dapat diambil kefahaman sebagaiunit sosial terkecil dalam masyarakat, atau suatu organisasi bio-psiko-sosio-spiritual dimana anggota keluarga terkait dalam suatuikatan khusus untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dan bukanikatan yang sifatnya statis dan membelenggu dengan saling menjagakeharmonisan hubungan satu dengan yang lain atau hubungansilaturrahim.

Sementara satu keluarga dalam bahasa Arab adalahal-Usrohyang berasal dari kata al-asruyang secara etimologis mampunyai arti ikatan. Al- Razi mengatakanal-asru maknanya mengikat dengan tali, kemudian meluas menjadi segalasesuatu yang diikat baik dengan tali atau yang lain.

Dari beberapa pengertian di atas dapatdisimpulkan bahwa pengertian pendidikan keluarga adalah prosestransformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosialterkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan lingkungan budayayang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkanberbagai kebiasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan pribadi,keluarga dan masyarakat.

3.  Bentuk-Bentuk Keluarga

Dalam norma ajaran sosial, asal-usul keluargaterbentuk dari perkawinan (laki-laki dan perempuan dan kelahiranmanusia seperti yang ditegaskan Allah dalm surat an-Nisa ayat satuyang berbunyi:



Artinya: Dan Ia ciptakan dari padaNyapasanganny dan Ia tebarkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yangbanyak (an-Nisa: 1)

Asal-usul ini erat kaitannya dengan aturanIslam bahwa dalam upaya pengembang-biakan keturunan manusia,hendaklah dilakukan dengan perkawinan. Oleh sebab itu, pembentukankeluarga di luar peraturan perkawinan dianggap sebagai perbuatandosa.

Adapun bentuk-bentuk keluarga sebagaimanadijelaskan William J. Goode dapat diklasifikasikan ke dalam beberapabentuk:

Keluarga nuklir (nuclear family) sekelompok keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang belum memisahkan diri membentuk keluarga tersendiri.
Keluarga luas (extentended family) yaitu keluarga yang terdiri dari semua orang yang berketurunan dari kakek, nenek yang sama termasuk dari keturunan masing-masing istri dan suami.
Keluarga pangkal (sistem family) yaitu jenis keluaarga yang menggunakan sistem pewarisan kekayaan pada satu anak yang paling tua, seperti banyak terdapat di Eropa pada zaman Feodal, para imigran Amerika Serikat, zaman Tokugawa di Jepang, seorang anak yang paling tua bertanggungjawab terhadap adik-adiknya yang perempuan sampai ia menikah, begitu pula terhadap saudara laki-laki yang lainnya.
Keluarga gabungan (joint family) yaitu keluarga yang terdiri dari orang-orang yang berhak atas hasil milik keluarga, mereka antara lain saudara laki-laki pada setiap generasi, dan sebagai tekanannya pada saudara laki-laki, sebab menurut adat Hindu, anak laki-laki sejak lahirnya mempunyai hak atas kekayaan keluarganya.

 Sementara itu dalam hubungan keluarga,Jalaluddin Rahmat mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modernbahwa biasanya sepasang suami istri memiliki tiga struktur:

Pertama, sruktur komplementer atau dengan kata lain dikenal dengan keluargatradisional. 
Kedua, struktur simetris atau yang sering disebut dengankeluarga modern. 
Ketiga, struktur pararel yang merupakan hubunganantara struktur simetris dan struktur komplementer yang kedu belahpihak tersebut saling melengkapi dan saling bergantung, tetapi dalamwaktu yang sama mereka memiliki beberapa bagian dari perilakukekeluargaan mereka yang mandiri.

4.   Pendidikan Keluarga

Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalammasyarakat merupakan lingkungan budaya pertama dan utama dalam rangkamenanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilakuyang dianggap penting bagi kehidupan pribadi, keluarga danmasyarakat.

Dalam buku TheNational Studi on Family Strength,Nick dan De Frain mengemukakan beberapa hal tentang pegangan menujuhubungan keluarga yang sehat dan bahagia, yaitu:

Terciptanya kehidupan beragama dalam keluarga
Tersedianya waktu untuk bersama keluarga
Interaksi segitiga antara ayah, ibu dan anak
Saling menghargai dalam interaksi ayah, ibu dan anak
Keluarga menjadi prioritas utama dalam setiap situasi dan kondisi

Seiring kriteria keluarga yang diungkapkan diatas, sujana memberikan beberapa fungsi pada pendidikan
keluarga yangterdiri dari fungsi biologis, edukatif, religius, protektif,sosialisasi dan ekonomis.

Dari beberapa fungsi tersebut, fungsi religius dianggap fungsi palingpenting karena sangat erat kaitannya dengan edukatif, sosialisasi danprotektif. Jika fungsi keagamaan dapat dijalankan, maka keluargatersebut akan memiliki kedewasaan dengan pengakuan pada suatu sistemdan ketentuan norma beragama yang direalisasikan di lingkungan dalamkehidupan sehari-hari.

Penanaman akidah sejak dini telah dijelaskandalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 132 yang berbunyi:




Artinya: Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan kepada anak-anaknya, demikian juga Ya’kub. Ibrahim berkata: haianak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, makajanganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam.

Secara garis besar pendidikan dalam keluargadapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1.    Pembinaan Akidah dan Akhlak

Mengingat keluarga dalam hal ini lebih dominanadalah seorang anak dengan dasar-dasar keimanan, ke-Islaman, sejakmulai mengerti dan dapat memahami sesuatu, maka al-Ghazali memberikanbeberapa metode dalam rangka menanamkan aqidah dan keimanan dengancara memberikan hafalan. Sebab kita tahu bahwa proses pemahamandiawali dengan hafalan terlebih dahulu (al-Fahmu Ba’d al-Hifdzi).

Ketika mau menghafalkan dan kemudian memahaminya, akan tumbuh dalamdirinya sebuah keyakinan dan pada akhirnya membenarkan apa yang diayakini. Inilah proses yang dialami anak pada umumnya. Bukankah merekaatau anak-anak kita adalah tanggungjawab kita sebagaimana yang telahAllah peringatkan dalam al-Qur’an yang berbunyi:




Artinya: Jagalah diri kalian dan keluargakalian dari panasnya api neraka

Muhammad Nur Hafidz merumuskan empat pola dasardalam bukunya.

Pertama, senantiasa membacakan kalimat Tauhid padaanaknya.
Kedua, menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasulnya.
Ketiga, mengajarkan al-Qur’an dan keempat menanamkan nilai-nilaipengorbanan dan perjuangan.

Akhlak adalah implementasi dari iman dalamsegala bentuk perilaku, pendidikan dan pembinaan akhlak anak.Keluarga dilaksanakan dengan contoh dan teladan dari orang tua.Perilaku sopan santun orang tua dalam pergaulan dan hubungan antaraibu, bapak dan masyarakat. Dalam hal ini Benjamin Spock menyatakanbahwa setiap individu akan selalu mencari figur yang dapat dijadikanteladan ataupunidola bagi mereka.

2.    Pembinaan Intelektual

Pembinaan intelektual dalam keluarga memgangperanan penting dalam upaya meningkatkan kualitas manusia, baikintelektual, spiritual maupun sosial. Karena manusia yang berkualitasakan mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Mujadalah yang berbunyi:


Artinya: Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu diantarakalian.

Nabi Muhammad juga mewajibkan kepadapengikutnya untuk selalu mencari ilmu sampai kapanpun sebagaimanasabda beliau yang berbunyi:




Artinya: Mencari ilmu adalah kewajiban bagimuslim dan muslimat.


3.    Membinaan Kepribadian dan Sosial

Pembentukan kepribadian terjadi melalui prosesyang panjang. Proses pembentukan kepribadian ini akan menjadi lebihbaik apabila dilakukan mulai pembentukan produksi serta reproduksinalar tabiat jiwa dan pengaruh yang melatarbelakanginya. Mengingathal ini sangat berkaitan dengan pengetahuan yang bersifat menjagaemosional diri dan jiwa seseorang.

Dalam hal yang baik ini adanyaKewajiban orang tua untuk menanamkan pentingnya memberi supportkepribadian yang baik bagi anak didik yang relative masih muda danbelum mengenal pentingnya arti kehidupan berbuat baik, hal ini cocokdilakukan pada anak sejak dini agar terbiasa berprilaku sopan santundalam bersosial dengan sesamanya. Untuk memulainya, orang tua bisadengan mengajarkan agar dapat berbakti kepada orang tua agar kelak sianak dapat menghormati orang yang lebih tua darinya.

Dikotomi antara ilmu agama Islam dengan ilmu umum pun terjadi dalam dunia pendidikan. Pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah dianggap sebagai representasi ilmu agama Islam, sedangkan pelajaran-pelajaran lainnya dianggap sebagai ilmu-ilmu umum. Akibat dari itu semua adalah adanya beban yang sangat berat bagi guru yang mengajar pelajaran pendidikan agama Islam, yaitu seolah-olah sebagai penanggung jawab ketika terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan doktrin agama.

4.  Kebijakan dalam bidang pendidikan

Berkaitan dengan pengembangan imtak dan akhlak mulia maka yang perlu dikaji lebih lanjut ialah peran pendidikan agama, sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan merupakan salah satu bahan kajian dalam semua kurikulum pada semua jenjang pendidikan, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Pendidikan Agama merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diikuti oleh peserta didik bersama dengan Pendidikan Kewarganegaraan dan yang lainnya.

Tantangan yang dihadapi dalam Pendidikan Agama, khususnya Pendidikan Agama Islam sebagai sebuah mata pelajaran adalah bagaimana mengimplementasikan pendidikan agama Islam bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana mengarahkan peserta didik agar memiliki kualitas iman, taqwa dan akhlak mulia. Dengan demikian materi pendidikan agama bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana membentuk kepribadian siswa agar memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat dan kehidupannya senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia dimanapun mereka berada, dan dalam posisi apapun mereka bekerja.

Maka saat ini yang mendesak adalah bagaimana usaha-usaha yang harus dilakukan oleh para guru Pendidikan Agama Islam untuk mengembangkan metode-metode pembelajaran yang dapat memperluas pemahaman peserta didik mengenai ajaran-ajaran agamanya, mendorong mereka untuk mengamalkannya dan sekaligus dapat membentuk akhlak dan kepribadiannya.

Pemerintah Malaysia, Jepang, Vietnam, Singapura, dan lainnya memosisikan guru sebagai pribadi terhormat dengan gaji yang tinggi. Guru di Vietnam digaji 600.000 dhong (dollar Vietnam) setiap bulan, sementara kebutuhan hidup untuk keluarga kecil hanya sekitar 200.000 dhong. Guru di Jepang digaji 200.000 yen per bulan, sementara kebutuhan hidup hanya 100.000- 150.000 yen untuk satuan keluarga.

Bagaimana di Indonesia? Guru yang lolos sertifikasi pendidik memang mengalami kenaikan pendapatan yang signifikan; tetapi yang belum tersertifikasi tidak memperoleh kenaikan pendapatan berarti dan guru yang demikian ini jumlahnya sangat banyak dalam skala nasional.
Keadaan itu memberikan gambaran mengenai politik pendidikan di Indonesia yang masih jauh dari kata surga. Politik pendidikan kita belum bisa memberi harapan nyata atas kemajuan bangsa ini pada masa depan.

Dari kesadaran

Bagaimana membangun politik pendidikan yang sehat? Ada banyak cara, tetapi semua berawal dari kesadaran para penentu kebijakan; yaitu eksekutif dan legislatif. Mereka harus bersikap ”sadar didik” (sense of education) menyadari pentingnya pendidikan untuk membangun manusia.

Ilustrasi konkret: meski UU Sisdiknas dan UUD menentukan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari RAPBN, ternyata angka itu tidak dipatuhi. Ini menunjukkan eksekutif di pusat tidak menaruh kepedulian optimal terhadap pendidikan. Adanya ratusan kabupaten/kota yang tidak mengalokasi anggaran pendidikan secara memadai menunjukkan eksekutif daerah pun tidak memiliki kepedulian yang optimal terhadap pendidikan.

Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan pernah membuat keputusan ”aneh”, yaitu memasukkan gaji pendidik ke dalam anggaran pendidikan; padahal Pasal 49 Ayat 1 UU Sisdiknas jelas-jelas menyebutkan gaji pendidik tidak menjadi bagian dari dana atau anggaran pendidikan.

Realitas lain menunjukkan, meski kita sudah merdeka lebih dari 60 tahun, masih banyak gedung sekolah yang roboh, anak miskin yang tidak bersekolah, lembaga pendidikan yang tidak memiliki perpustakaan, perguruan tinggi yang miskin sarana dan prasarana, dan sebagainya.

Itu semua terjadi karena banyak eksekutif dan legislatif di pusat dan daerah tidak memiliki kepedulian yang memadai terhadap pendidikan. Kalau negara kita ingin maju, politik pendidikan kita harus sehat; dan kalau politik pendidikan kita ingin sehat, para eksekutif dan legislatif sebagai penentu kebijakan harus memiliki komitmen dan kepedulian yang memadai terhadap pendidikan.

Kepentingan sepihak

Soal inkonsistensi, sebenarnya sudah terjadi sejak dulu. Ketika masih dijajah Belanda, isu pemerataan terkait aksesibilitas pendidikan pernah dibahas Kongres ke-3 Pendidikan Hindia Belanda di Weltevreden (Jakarta), 29/9-2/10 1924. Pertanyaan pedagog Belanda mengundang perdebatan dalam forum.

Pertama, “Apa yang dapat dilakukan untuk mendidik murid menjadi warga yang baik?”
Kedua, “Apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu nilai pendidikan (opvoedkundige waarde) anak-anak pribumi?’
Pertanyaan pertama menunjuk posisi instrumental pendidikan, membentuk murid dalam “keadaan jadi rakyat (onderdaanschap) Hindia Belanda yang memahami negeri Belanda dan tidak menentang pemerintah” (proceeding Kongres, hal 104- 105).
Pertanyaan kedua menekankan pentingnya meningkatkan kualitas pendidikan anak- anak pribumi.

Peserta kongres keturunan Belanda terbagi atas dua pertanyaan. Namun, bagi beberapa peserta pribumi, makna kedua pertanyaan itu sama.

Pertanyaan pertama kental nuansa ideologi kolonial. Pertanyaan kedua, meski menunjuk anak- anak pribumi secara eksplisit, tidak bertujuan memperbaiki pendidikan mereka.  Kebijakan dan praktik pendidikan pemerintah kolonial Belanda tetap segregatif, diskriminatif, tidak merata dalam mutu maupun akses. Sekolah dikelompokkan dalam pilar sosial (verzuiling) sebagai prakondisi politis yang menghambat akses pendidikan kebanyakan anak pribumi. Peristiwa itu mengingatkan, upaya meningkatkan aksesibilitas sering tidak menyentuh penyelesaian persoalan faktual pendidikan dalam masyarakat.

Cakrawala masyarakat

Kini problem aksesibilitas pendidikan di Indonesia terkait daya beli masyarakat. Perluasan akses pendidikan mustahil terjadi tanpa menaikkan daya beli. Inilah masalah faktual pendidikan kita. Pada perspektif lain, soal aksesibilitas pendidikan tak terpisahkan dari multidimensionalitas masalah masyarakat. Tergesernya pendidikan dalam prioritas dipengaruhi pandangan dan harapan masyarakat atas hasil pendidikan. Ungkapan “buat apa sekolah, toh jadi penganggur” seolah-olah logis karena payahnya pasar kerja Indonesia saat ini. Fakta bahwa sejumlah terdakwa koruptor berpendidikan tinggi bagai menguatkan anggapan pendidikan formal tidak membawa kemaslahatan masyarakat.

Pandangan dan harapan seperti itu tidak sepenuhnya tepat sebab menekankan pendidikan sebagai penyelesaian setiap masalah hidup. Meski demikian, aksesibilitas pendidikan bukan melulu perkara pendanaan sebagai tanggung jawab pemerintah.

Aksesibilitas menyangkut seberapa dalam masyarakat menganggap pendidikan penting dan perlu. Ia dibatasi cakrawala dan standar masyarakat tentang kehidupan berkualitas. Artinya, aksesibilitas pendidikan terkait mindset dan kesadaran masyarakat tentang dimensi-dimensi kehidupannya. Karena itu, pembenahan pendidikan bukan proses mandiri. Pembaruan menyeluruh melalui pemerataan, peningkatan aksesibilitas, perbaikan fasilitas makro dan mikro, harus menunjukkan kerangka kerja sama dengan bidang-bidang lain dalam visi pembangunan berkelanjutan (Laporan Konferensi PBB, No A/CONF.151/26, Vol. I, 1992).

Selain itu, tuntutan terhadap pemenuhan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan perlu diimbangi perbaikan oleh siapa pun yang peduli. Ekses privatisasi terhadap aksesibilitas pendidikan dapat dikurangi lewat pendanaan dan keterlibatan sekaligus.


BAB III
KESIMPULAN

Pengertian dari pendidikan keluarga adalahproses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unitsosial terkecil dalam masyarakat. Sebabkeluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalammenanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan prilakuyang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.

Kunci keberhasilan pendidikan dalam keluargasebenarnya terletak pada pendidikan rohani dengan artian keagamaanseseorang. Beberapa hal yang memegang peranan penting dalam membentukpandangan hidup seseorang meliputi pembinaan akidah, akhlak, keilmuandan kreativitas yang mereka miliki.

Sedangkan pendidikan dalam keluarga itu sendirisecara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

Pembinaan akdah dan akhlak
Pembinaan intelektual
Pembinaan kepribadian dans osial


DAFTAR PUSTAKA


J. Goode, William, SosiologiKeluarga, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Muhaimin, Pemikiran PendidikanIslam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung:Trigenda Karya, 1993.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: BalaiPustaka, 1985.

Sumber: Kompas, Sabtu, 2 Mei 2009, http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/02/04165378/politik.pendidikan.indonesia
(Harian Kompas, 9 Nopember 2006)

http://agussuwignyo.blogsome.com/2006/11/15/watak-politik-pendidikan-pemerintah/trackback/

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hlm. 702.

Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya, 1993, hlm. 127.

William J. Goode, Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hlm. 33.

Jalaluddin Rahmat dan Muhtar Gandatama, Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, hlm. 107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar