Jumat, 11 November 2011


I.                   PENDAHULUAN
Mukjizat yang Allah SWT berikan kepada para nabi dan rasul-Nya sebelum nabi Muhammad SAW dapat dikatakan hanya tinggal kenangan yang terukir dari mulut kemulut, dan tertulis dalam berbagai buku sejarah terutama Al-Qur’an. Akan tetapi mukjizat terbesar yang Allah berikan kepada nabi Muhammad SAW, yakni Al-Qur’an, hingga kini, nanti, besok, bahkan sepanjang perputaran bumi ini akan terus tetap eksis terjaga sebagaimana terjaganya Al-Qur’anul karim. Banyaknya kontroversi pemikiran dan perdebatan pendapat tentang arti, definisi, aspek kemukjizatan Al-Qur’an yang terus berlanjut dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat ini, nampaknya bisa menjadi bukti bahwa Al-Qur’an akan terus eksis dikaji oleh kaum muslimin, bahkan non-muslim. Lebih-lebih ketika pemikiran telah berkembang, i’jaz qur’an bukan hanya ditinjau dari beberapa penelitian tentang kebahasaan, makna, atau balaghah saja. Namun IPTEK (ilmu pengetahuan dan tekologi)`pun turut membuktikannya. Oleh karenaya i’jaz  qur’an ini sangat menarik dan penting  untuk kita kaji sebagai bentuk sumbangsih pemikiran kita sebagai umat nabi yang dikaruniai mu’jizat terbesar ini.

II.                PEMBAHASAN
A.                 Pengertian I’jazul Qur’an

Kata i’jaz diambil dari akar kata a’jaza-yu’jizu. Al-‘ajzu yang  secara harfiyah antara lain berarti lemah,tidak mampu, tidak berdaya. Lawan kata dari al-qudroh yang berati sanggup, mampu atau kuasa. I’jaz yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu ini,sejalan dengan firman Allah SWT yang artinya: ”...mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini.” ( QS. Al-maidah : 31).
Lebih jauh Al-Qaththan mendefinisikan i’jaz dengan “Memperlihatkan kebenaran Nabi SAW atas pengakuan kerasulannya dengan cara membuktikan kelemahan orang arab dan genersi sesudahnya untuk menandingi Al-Qur’an”[1]
Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mu’jizat. Tambahan ta’ marbuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).[2]
Istilah mu’jiz atau mu’jizat lazim diartikan dengan al-‘ajib, maksudnya adalah sesuatu yang ajaib (menakjubkan atau mengherankan) karena orang lain tidak ada yang sanggup menandingi atau menyamai sesuatu itu. Juga sering diartikan dengan amrun khoriqun lil’adah, yakni sesuatu yang menyalahi tradisi.[3]
Adapun Manna’ Al-Qaththan mendefinisikan dengan hal serupa “amrun khariqun lil’adah maqrunun bit tahaddiy salimun ‘anil mu’arodhoh”, yakni suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, dan tidak dapat ditandingi.

B.                 Macam-macam Mu’jizat Al-Qur’an
Dalam menjelaskan macam-macam mukjizat Al-Qur’an ini para ulama berlainan keterangan. Hal ini disebabkan karena perbedaan tinjauan masing-masing.
Dr. Abd. Rozzaq Naufal, dalam kitab Al-I’jazu Al-Adadi Lil Qur’anil Karim menerangkan bahwa i’jazil qur’an itu ada 4 macam, sebagai berikut:
a.       Al-I’jaz balaghi: kemukjizatan segi sastra balaghahnya, yang muncul pada ma peningkatan mutu bahasa arab.
b.      Al-I,jazut tasyri’i: kemukjizatan segi pensyariatan hukum-hukum ajarannya yang muncul pada masa penetapan hukum-hukum syari’at islam.
c.       Al-I’jazul ilmu: kemukjizatan segi ilmu pengetahuan , yang muncul pada masa kebamgkitan ilmu dan sain dikalangan umat islam.
d.      Al-I’jazul adadi: kemukjizatan segi kuantity atau matematis/statistik, yang muncul pada abad ilmu pengetahuan dan teknologi canggih sekarang.
Beliau mencontohkan:
§         Kata iblis disebutkan dalam qur’an sampai 11 kali/ayat. Maka ayat yang menyuruh mohon perlindungan dari iblis juga disebutkan 11 kali pula.
§         Kata sihir dengan segala bentuk tasrifnya dalam al-qur’an disebutkan sampai 60 kali/ayat, dan kata fitnah yang merupakan sebab dari sihir itu juga disebut sampai 60 kali pula.
Sedangkan Imam Al-Khothoby (wafat 388 H) dalam buku Al-Bayan Fi I’jazil Qur’anI’jazul Qur’an itu hanya satu macam intinya, yaitu hanya Al-I’jazul Balaghi. Beberapa ulama yang sepaham dengan Imam Al-Khothobi diantaranya: Imam Ali Bin Isa Ar-Ramany (wafat 384 H) yang menulis kitab An-Naktu Fi I’jazil Qur’ani Al-Balaghi dan Syeikh Musthofa Shodiq Ar-Rafii yang mengarang kitab I’jazul Qur’an wa Al-Balaghatu An-Nabaawiyyatu. mengatakan, bahwa kemujizatan Al-Qur’an itu terfokus pada bidang kebalaghan saja. Dengan kata lain, beliau menganggap bahwa
Adapun Imam Al-Jahidh (wafat 255 H) di dalam kitab nuzdumul qur’an dan hujajun nabaawiyah serta al-bayan wa at-tabyin menegaskan bahwa kemukjizatan al-qur’an itu terfokus pada bidang lafal-lafalnya saja, yaitu kemukjizatan susunannya, dengan semboyan: innal I’jaza innama huwa fin nadhmi. Sebab memang susunan lafal-lafal al-qur’an ini berbeda dari kitab-kitab lain dan sungguh menakjubkan.
Moh. Ismail ibrahim dalam buku yang berjudul al-qur’an wa I’jazihi al-ilmi mengatakan, orang yang mengamati al-qur’an dengan cermat, mereka akan mengetahui bahwa kitab itu merupakan gudang berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan. Beliaupun menyimpulkan bahwa fokus kemu’jizatan Al-Qur’an adalah I’jazil ilmi.[4]

C.                 Pendapat Ulama tentang I’jaz
Pada dasarnya para ulama sepakat tentang kemukjizatan Al-Qur’an dalam konteksnya yang sangat luasdan sebagai satu kesatuan yang bersifat holistik. Hanya saja mereka berlainan pendapat dalam hal pemaparan kemukjizatan Al-Qur’an secara rinci dan bagian demi bagian.
Menurut Golongan Sharfah, salah satunya adalah Abu Ishaq Ibrahim An-Nazhzham (321 H-933 M) yang oleh Musthafa Shodiq Ar-Rafii dituduh sebagai setan para teolog (syaithanul mutakallim) mengemukakan bahwa kemukjizatan Al-Qur’an bukanlah terletak pada kehebatannya. Melainkan lebih dikarenakan sharfah (proteksi) dari Allah SWT terhadap para hamba-Nya. Lebih dari itu, tambah An-Nazhzham, Allah SWT tidak hanya memprotek kemampuan manusia untuk menandingi Al-Qur’an, akan tetapi juga membelenggu kefasihan lidah mereka.
 Pendapat serupa juga diutarakan oleh Al-Murtadha -seorang tokoh dari kalangan madzhab syi’ah- bahwa I’jaz al-qur’an  terjadi karena as-sharfah dari Allah. Menurutnya, allah sengaja mematikan  kreatifitas dan kemampuan orang arab dari kemungkinan mereka menandingi al-qur’an. Padahal pada dasarnya mereka berkemampuan melakukan itu. Sharfah allah kepada hambanya inilah, sesungguhnya  yang mengakibatkan (al-qur’an) tidak mengikuti tradisi, tambah Al-Murtadha.[5]
Menurut Imam Fakhruddin, aspek kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada kefasihan, keunikan redaksi, dan kesempurnaannya dari segala bentuk cacat.
 Menurut Az-Zamlakani, aspek kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada penyusunan yang spesifik.
Menurut Ibnu Athiyyah, aspek kemukjizatan Al-Quran yang benar dan yang dianut oleh mayoritas ulama-diantaranya-Al-Haddad-terletak pada runtutnya, makna-maknanya yang dalam, dan kata-kata yang fasih.
Menurut Quraish Shihab, memandang kemukjizatan Al-Qur’an dalam 3 aspek:
-Aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya.
-Berita tentang hal-hal ghaib.
-Isyarat-isyarat ilmiyah (kejadian-kajadian alam).

III.             PENUTUP
A.                 KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat kita tarik satu kesimpulan bahwa kemukjizatan Al-Qur’an sesungguhnya tidaklah dapat dipungkiri adanya. Hanya saja beberapa ulama  memandang I’jaz bukan dari kehebatan yang ada di dalam Al-Qur’an melainkan lebih karena faktor luar yang sekilas seperti memojokkan Allah SWT.
B.                 SARAN
Menaggapi perbedaan ini kita hendaknya kita memandang memang Allah mempuyai sifat al-qahhar (maha kuasa) juga al-jabbar (maha perkasa). Sehingga wajar jika manusia lemah atau dilemahkan. Kemudian dibalik apa yang telah kita kaji tadi semoga dapat kita jadikan media pembelajaran awal yang melanjutkan kita pada pembelajaran Qur’an yang lebih mendalam.



DAFTAR PUSTAKA
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘ulum Al-Qur’an
M.Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an
Prof. Dr. Muhammad Amin Suma,MA. SH., Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an
Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A,Ulumul Qur’an // Fajar MM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar